Penggunaan Gadget pada Anak : Masalah Utama dan Solusi bagi Orangtua (Bagian II)

Teknologi pada gadget memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Namun dalam memanfaatkan gadget tidak lepas dari berbagai masalah, terutama jika orangtua ingin memberikan gadget pada anaknya. Pada umumnya, masalah utama pemberian gadget pada anak adalah terletak pada lemahnya pengawasan (supervision) dari orangtua, seperti berikut ini : 
  1. Banyak orangtua berpikir jika sudah membelikan gadget mahal pada anak maka gadget itu bisa membantu memberikan kesibukan pada anak. Jadi gadget itu langsung saja diberikan pada anak, tanpa diawasi orangtua. Entah anak mau main game apa, nonton video apapun, orangtua tidak peduli. Padahal hal ini keliru, anak tetap harus diberikan bimbingan dan pengawasan secara ketat. 
  2. Kadang orangtua malah berpikir seperti ini : “Ah saya saja gaptek, anak saya yang lebih pintar soal teknologi. Jadi biarlah anak mengutak-atik sendiri gadget nya”. Padahal hal ini juga salah, orangtua harus mau belajar hal baru juga. Untuk apa orangtua belajar? Tentu saja agar bisa memberikan bimbingan yang tepat pada anaknya.
  3. Masalah berikutnya adalah pada ketidakmampuan orangtua untuk mengendalikan keinginan anaknya supaya bisa diterima oleh komunitas (teman-temannya). Misalnya di sekolah anak sedang tren game A, maka jika anak tidak memainkan game A dianggap tidak gaul, kuper dsb, kemudian ujung-ujungnya di bully oleh teman-temannya. Orangtua tidak mau anaknya dijauhi temannya, maka memberikan anak game tersebut. Padahal hal ini juga salah. Jika orangtua melihat bahwa game itu tidak baik bagi anaknya, maka anak jangan diijinkan memainkan game tersebut. Darimana orangtua tahu game yang tren itu baik/tidak? Tentu saja orangtua yang harus lebih dulu mempelajari game tersebut, bahkan mencoba memainkannya, sehingga mampu memberikan penilaian secara bijak.
  4. Orangtua merasa kasihan pada anak yang sudah belajar keras di sekolah sehingga di rumah boleh bersantai dengan bermain game sesuka hati anak. Hal ini juga kurang tepat karena orangtua tetap harus selektif dan memberi waktu proporsional untuk aktivitas lain, misalnya olahraga atau belajar ketrampilan tertentu yang santai, seperti  musik, berkebun, membaca buku, dsb.
  5. Kadang orangtua membiarkan anak menonton TV sesuka hati karena menganggap acara TV sudah ada badan sensor sehingga tidak berbahaya bagi anak. Padahal acara seperti sinetron pun banyak yang secara tidak langsung mengajarkan hal buruk pada anak, seperti gaya hidup mewah, bullying, dsb. Acara TV juga terlalu banyak iklan konsumtif yang tidak baik bagi anak-anak. Jangan biarkan anak menonton acara TV sendirian. Tetap dampingi dan berikan penjelasan pada anak tentang mana yang baik dan buruk dalam menonton TV. 
  6. Salah satu alasan lain orangtua tidak mau memberikan gadget pada anak yaitu takut rusak. Padahal jika diawasi penggunaannya dengan baik, gadget itu tidak akan mudah rusak. Misalnya, jika sedang makan/minum jangan sambil pegang gadget; menekan tombol pada gadget harus dengan soft touch (lembut), bukan ditekan atau digoncang. Hal-hal ini akan membuat gadget lebih awet.
  7. Kendala bahasa. Video dan aplikasi yang berkualitas bagus biasanya dibuat dalam bahasa Inggris karena dibuat oleh luar negeri. Biasanya orangtua tidak memberikan video atau aplikasi ini pada anak karena merasa bahwa anak akan sulit memahami. Padahal hal ini juga keliru. Orangtua harus mau belajar memahami bahasa asing, jika memang hal ini diperlukan untuk menunjang perkembangan belajar anaknya. 

Namun sayangnya, hal-hal diatas sepertinya sulit dijalani oleh orangtua jaman modern sekarang ini, yang terlalu sibuk atau menyibukkan diri dengan pekerjaan, sosialisasi, dsb sehingga tidak punya waktu untuk melakukan saran-saran diatas.  Beberapa orang berpendapat untuk tidak memberikan gadget sama sekali pada anak, karena mendapat informasi bahwa anak-anak di negara maju juga tidak menggunakan gadget. Informasi ini bisa jadi benar, namun juga bisa salah karena kita hanya melihat satu sisi saja, tidak melihat kehidupan negara maju secara konkrit di semua aspek. Kenyataannya, anak-anak di negara maju tidak banyak menghabiskan waktu menggunakan gadget karena :
  1. Fasilitas belajar di negara maju sudah lengkap, tersedia banyak buku fisik untuk belajar. Di Indonesia, bagaimana cara mendapat buku untuk anak yang lengkap dan berkualitas? E-book atau perpustakaan digital menjadi salah satu solusinya.
  2. Keamanan sosial terjamin (kriminalitas rendah) bahkan di Jepang, anak-anak TK pulang sekolah jalan kaki ke rumah sendiri tidak takut. 
  3. Arena permainan outdoor beragam, seperti taman, area skateboarding, dsb. Di Indonesia, bagaimana mengisi waktu luang anak? Arena permainan outdoor terbatas, jadi anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Maka salah satu aktivitas di rumah yang baik, selain memberikan gadget adalah seni, misalnya melukis, origami, merajut, musik, dsb Sebagai contoh, alat musik sebetulnya juga semacam “gadget”. Dalam memainkan alat musik ada aturannya, sehingga untuk bisa bermain musik dengan baik butuh latihan yang serius dan fokus. Jika orangtua membelikan alat musik kemudian tidak mengawasi/membantu anak belajar, pasrah pada guru musik saja, maka anak juga tidak akan berkembang. Bagaimanapun caranya, orangtua tetap harus membimbing dan mengawasi anak belajar.

Selain itu, orangtua patut berhati-hati dengan kampanye palsu (berita hoax) yang menyebutkan bahwa :
  1. Penggunaan gadget pada anak usia dini (kurang dari 12 tahun) tidak tepat
  2. Anak balita lebih baik jangan diajari Calistung (baca tulis hitung)
Bisa jadi itu adalah kampanye yang ingin membuat generasi muda kita bodoh. Banyak orangtua menjadi ketakutan berlebihan (paranoid) memberi gadget, kemudian menyuruh anak beraktivitas di luar rumah saja, namun si anak malah bermain petasan, berkelahi dengan temannya, bermain motor (ngebut), dsb. Apakah hal-hal seperti ini bisa dikatakan ‘lebih baik’ ? Menurut pandangan kami, yang paling penting adalah :
  1. Memberi gadget pada usia dini (diatas 3 tahun) tidak masalah asal orangtua mendampingi dan mengawasi secara ketat.
  2. Belajar Calistung pada usia dini tidak masalah (karena banyak aplikasi yang diciptakan untuk anak usia prasekolah), asal anak tidak diberi target, misalnya target anak harus lancar membaca dalam waktu 5 bulan, anak harus menang lomba calistung, dsb. Anak juga tidak boleh dibanding-bandingkan dengan temannya, karena setiap anak mempunyai perkembangan proses belajar yang berbeda. Jadi belajar harus menyenangkan bagi anak, bukan menjadi beban.


Kuncinya terletak pada kemauan orangtua untuk berkorban demi anaknya, meluangkan waktu untuk anak, belajar hal baru demi anak. Sesibuk apapun orangtua, jika mengharapkan anaknya berkembang dengan baik, maka harus ada pengorbanan dari orangtua untuk membimbing dengan tulus dan penuh kasih. Maka kita akan melihat anak-anak kita bertumbuh secara luar biasa.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Alat Musik Piano, Keyboard dan Organ

Hidup adalah Belajar

Mitos dan Fakta Seputar Musik (1)