Kompetisi Dalam Pendidikan : Perlu atau Tidak ?

       Setiap orang pasti pernah mengikuti lomba. Lomba atau kompetisi diyakini bisa memberi motivasi pada anak untuk berlatih. Namun ada banyak kelemahan dalam strategi kompetisi atau lomba ini, terutama dalam konteks pendidikan. Anak adalah jiwa yang polos yang belum memahami kehidupan secara kompleks. Ketika orang dewasa memperkenalkan konsep kompetisi pada anak, mula-mula reaksi anak adalah bingung. Mereka tidak mengerti kenapa harus dibandingkan dengan orang lain. Menurut pendapat ahli pendidikan global, Alfie Kohn, dalam tulisannya yang berjudul “The Case Against Competition”, menyimpulkan bahwa kompetisi dalam pendidikan pada dasarnya buruk.

  1. Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula/permen pada gigi. Manis dan menyenangkan awalnya, namun merusak gigi pada akhirnya. Anak jadi merasa egois, superior, menganggap remeh orang lain yang bisa berujung bullyingAnak jadi tidak mau belajar hal-hal lain yang tidak dilombakan, karena berorientasi untuk menang. Padahal, hal-hal itu tidak kalah pentingnya. Sebagai contoh, anak yang menjuarai lomba piano, kelihatan hebat dalam memainkan lagu yang “sulit” seperti Mozart, Beethoven, namun ketika disuruh main lagu “Selamat Ulang Tahun" di acara ulang tahun temannya, dia bilang tidak bisa. Kedengarannya konyol, namun kasus ini banyak terjadi pada anak-anak kita.
  2. Anak anak sukses ketika bisa berkolaborasi, bukan karena berkompetisi. Studi yang dilakukan oleh seorang profesor psikologi, David Johnson, dari Universitas Minnesota, mengkaji topik kompetisi sejak tahun 1924, membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif (kolaborasi), bukan yang kompetitif.
  3. Kompetisi menciptakan permusuhan. Anak akan menganggap temannya adalah musuh yang harus dikalahkan, bukan sebagai teman yang bisa diajak bekerja sama. Hasilnya, anak yang menang merasa sombong. Sebaliknya, anak yang kalah merasa iri (cemburu) pada anak yang menang, menciptakan rasa minder pada anak yang kalah. Perasaan psikologis ini sangat mungkin dirasakan oleh anak, walaupun orangtua sudah memberitahu bahwa kalah tidak masalah, tapi anak-anak tetap bisa merasakan minder, iri, tsb. Perasaan ini sangat tidak sehat dan berbahaya bagi kesehatan mental anak. 
  Beberapa bidang memang bisa dibuat kompetisi/lomba. Misalnya bidang olahraga yang membutuhkan kecepatan, ketangguhan, dsb. Namun beberapa bidang juga pada dasarnya sulit untuk dilombakan karena menyangkut seni, yaitu nilai rasa yang sangat subjektif. Misalnya, seni rupa, seni musik, fashion, dekorasi, kuliner, dsb.
  Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengajarkan tidak kompetitif, padahal dalam dunia nyata selalu ada kompetisi ? Jawabannya adalah dengan menemukan minat anak pada suatu bidang, kemudian mendorong anak untuk belajar dan berlatih secara serius, bukan hanya karena ada lomba. Anak diberi pengertian bahwa di masa depan, dalam dunia kerja akan ada persaingan, maka kamu harus terus belajar supaya mempunyai keterampilan. Pengertian itu bisa disampaikan secara lisan saja, tanpa harus melibatkan anak dalam simulasi lomba. Seperti mengajarkan tentang bahaya narkoba, tidak perlu mencoba narkoba bukan ?
  Keluarga harus mendorong anak untuk mempunyai skill atau keterampilan karena keterampilan itu yang bisa dipakai untuk bekerja atau berkarya di masa depan. Bukan hanya sekedar piala atau ijazah. Bukan hanya sekedar meneruskan usaha orangtuanya, tanpa adanya usaha (effort) untuk menggali keterampilan. Jiwa kewirausahaan akan tumbuh jika anak merasa memiliki kompetensi dan keterampilan/skill tertentu
  Banyak orangtua yang terlalu berambisi untuk mengikuti lomba supaya anaknya bisa mengkoleksi piala dan dianggap hebat oleh lingkungannya, padahal belum tentu di masa depan anak itu akan sukses. Dunia membutuhkan kerja dan karya nyata dibandingkan koleksi piala, piagam, atau ijazah tersebut. Kadang-kadang, orangtua juga mendorong anaknya ikut lomba karena tertarik dengan hadiahnya (bisa berupa uang, barang, dsb). Hal ini juga tidak tepat karena anak-anak belum mengerti nilai uang/materi sesungguhnya, karena semua kebutuhannya masih dicukupi orangtuanya. Bukankah hal ini sama saja dengan mengajarkan berjudi/spekulasi ?
  Orangtua harus memberikan bekal keterampilan pada anak, apapun bidangnya, harus dicoba (diikuti) oleh anak. Minimal, anak mempunyai bekal pengetahuan yang beragam tentang pelbagai bidang keterampilan. Namun, agar anak tidak merasa terbeban karena banyak kegiatan yang diikuti, lebih baik orangtua tidak memberikan target tertentu pada anak. Contohnya, orangtua membuat target dalam waktu 1 tahun harus bisa lancar berbahasa Inggris, karena merasa sudah membayar kursus yang mahal. Hal ini akan membuat anak tertekan, sama halnya dengan kompetisi tadi. Biarkanlah anak belajar dan berkembang sewajarnya tanpa tekanan apapun. Orangtua hanya mengawasi saja. Jika anak mulai agak malas belajar, bicarakanlah dengan anak apa yang dirasakannya dalam kegiatan itu. Orangtua harus terlibat aktif mengetahui perkembangan anak dari waktu ke waktu. Tidak perlu menjadi ahli dalam bidang yang diikuti anak, namun setidaknya orangtua tahu perkembangan anak sampai dimana sehingga jika terjadi masalah, bisa saling memahami, bukan saling menyalahkan.
  Berikan penghargaan atas setiap kemajuan belajar anak. Reward/penghargaan dari orang terdekat akan dirasakan oleh anak sebagai suatu wujud cinta dan perhatian yang luar biasa. Orangtua harus mempunyai keyakinan (faith) bahwa anak adalah karunia Tuhan yang sangat besar potensinya. Tugas orangtua adalah menemukan dimana karunia keterampilan anaknya dan terus mengembangkannya. Maka Tuhan akan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk anak-anak kita.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Alat Musik Piano, Keyboard dan Organ

Hidup adalah Belajar

Mitos dan Fakta Seputar Musik (1)